An Old Song

Ingatan dan Angan Musik dan Lirik

Rifqi Prasetio
14 min readNov 1, 2021

Membuka aplikasi Medium dari sosial media, melihat artikelnya dan tak sampai lima detik ku tutup karena aku adalah pembaca yang menyedihkan.

Meja panjang yang sudah payah ditelan sepi itu aku singgahi. Duduk manis dan kopiku datang tak sampai semenit setelah close order di tempat yang rapuh akan kenangan ini. Hari-hari awal dari semester senjaku, tiap malamnya di sini.

Seperti malam-malam minggu sebelumnya, entah sudah berapa malam minggu yang dilewatkan Fey tidak bersama siapapun. Aku tidak begitu paham apalagi menyempatkan untuk menghitungnya, namun sebagai seorang vokalis band yang (tidak terlalu) terkenal di Kampus, agaknya aku menganggap bahwa mudah saja baginya untuk menghabiskan malam-malam bersama lelaki. Aku tidak menghakiminya, tetapi di dunia ini, kau pasti pahamlah.

Malam ini, Fey mungkin tak akan ke mana-mana, dan bersamaku di restoran berkedok kafe yang dulu sempat berjaya sebelum pandemi. Awal 2019, tempat ini meledak. Setelah Gilbert membalikkan semua meja dengan enggan, kami berdua makan pasta yang sangat enak, yang disajikan di mangkok yang lumayan besar dan garpu. Sambil menikmati kopi sisa tadi dan curi-curi sedikit wine yang diberikan cuma-cuma oleh Gilbert — yang kerja di restoran ini. Kita beranjak dari meja yang tak sampai 15 menit ke pintu belakang menyelinap, duduk manis di parkiran belakang nan terbuka, sejuk, sepi dan gelap hampir gulita, hanya cahaya rembulan dan satu buah bohlam yang setia menyala di sudut sana, tempat masuk parkir. Tentu saja restoran tutup jam 20.00, dan hanya melayani take-away.

“Damn, Fey. Seandainya saja spaghetti ini dulu kita makan waktu malem-malem habis dari JazzFest. Masih inget ga waktu Gilbert lupa bawa plectrum keberuntungannya dan paniknya setengah mati?”, tanpa berhenti mengunyah, aku mengenang festival terakhir yang kutonton sebelum pandemi. Waktu itu, aku dapat tiket VVIP dari mereka, plus nongkrong di backstage tempat mereka warming-up.

“Hahaha, siapa yang ga inget. Mungkin itu yang bikin kita ga lulus-lulus ya? Sibuk mengenang kejayaan masa lalu, dan lupa harus mengukir kejayaan baru untuk ke depan.”, aku hampir tersedak mendengar ucapan Fey.

“Tapi, mengenang kejayaan-kejayaan dulu itu lebih asyik, daripada bahas skrippshh..”, aku membalasnya.

“Udahlah, percuma. Lagian tahun 2019 yang jaya-jayanya itu, apa ya kita bakal nyangka, kalau tahun 2020–2021 itu kita ujung-ujungnya nongkrong di sini, ngeliatin mobil-mobil lewat tol lagi, lampu jalanan lagi, ditambah sedikit bau dan angin panas kondensor AC pula di sini. Aku kira tahun-tahun ini kita udah sibuk karir, melalang-buana, atau ada yang udah nikah, eh taunya sama aja di sini lagi.”, Gilbert yang baru keluar lewat pintu belakang itu menggerutu, sambil kerepotan menuruni tiga anak tangga dengan membawa satu liter botol kopi hitam stok hari ini, seember kecil es batu, dan dua gelas kecil.

“Ya, mungkin kita ditakdirkan untuk bersama, Gibs.” aku mencairkan suasana. Aku tidak terlalu paham apakah Gilbert benar-benar sedang tidak baik mood-nya, atau hanya menjadi seorang Gilbert yang kadang-kadang menggerutu — mengingatkan kita kepada ironi kehidupan.

“Kopi, wine, kopi lagi. Pasta ini menambah resep mules malem ini.” aku setengah menggerutu sambil bercanda.

“Kau lagi, Rick. Daripada banyak mengkritik, aku singgung ya. Tak pernah aku lihat kau dan Ella bersama lagi sejak JazzFest. Ella dan seorang Ricky yang terlalu berharap ini.” Fey menyela dengan topik yang berbeda. Aku tetap memperhatikan Gilbert, menyalakan rokok dan menyimak kami berdua.

“Eh, Bert, minta sebatang dong.” Aku mencoba memeriksa kadar emosinya.

“Ambil aja boy.” Gilbert menyodorkan bungkus rokoknya, dengan santai.

Ingatanku kembali kepada waktu-waktu sebelum pandemi. Ya, seperti sebuah band musik, dihajar waktu, sedikit putus asa untuk terus mengangkat nama dan popularitas — sembari memerangi ketulusan berseni dan berekpresi dan godaan akan uang.

Aku dan Fey tidak jauh berbeda, kita berasal dari Kampus yang sama. Dibesarkan oleh organisasi, kepanitiaan, dan kegabutan bermusik yang tak jelas maunya — berkarir atau sekadar iseng-iseng di musik. Sudah lima tahun sejak Fey dan Gilbert memulai “The Commoners”, bersama Samuel dan Emma. Aku cukup tahu musik, cukup mahir untuk menyentuh alat petik dari ujung dryer sampai bridge-nya. Aku paham bagian-bagiannya. Aku tidak ingin menjadi congkak, tapi aku lebih suka Telecaster daripada Stratocaster — layaknya Jonny Buckland dan Coldplay-nya berkarir pada tahun 90an. Piano? Tidak begitu payah. Bass? Lumayan. Tetapi, aku lebih suka akustik — berkelana dari kafe ke kafe lain. Sekali lagi aku tak ingin congkak, tetapi aku harus berpikir dua kali untuk tampil di sembarang tempat sambil minum alkohol. Karena kita tidak bisa memaksakan musik. Kita tidak bisa mencekoki restoran tempat ramah anak dengan lagu-lagu Oasis, atau menyanyikan lagu-lagu eksplisit Maroon 5 di reuni perak pernikahan seorang warga senior. Tidak mungkin!

Aku cenderung di belakang layar. Dan aku lebih suka tampil di depan teman-teman daripada orang asing. Pilih-pilih memang. Bahkan aku memerhatikan semakin ke sini, selera musik audiens kampus notabene anak-anak muda sudah kehilangan passion untuk memelajari dan menikmati musik. Atau mungkin tak sempat berekpresi dan menikmati live music dan konser karena dikeroyok pandemi. Genre semakin bias dan berbeda.

Aku memutuskan berhenti dan refleksi sejenak dari ‘bermusik’ di akhir 2019. Walaupun ‘on and off’, terakhir kalinya diriku tampil waktu sempat ‘dipaksa’ untuk ‘take-over’ beberapa lagu di sebuah live music yang diadakan di kafe tempat anak-anak FISIP biasa berkumpul, 30 Desember 2019. Sanctuaries, nama band kecil-kecilan itu. Kawanku, Totok, menjadi bassist di band itu. Terakhir kalinya, kami semua menikmati berkumpul bersama teman-teman se angkatan, kebanyakan Kelas ’15 dan ’16. Ya, mungkin itu terakhir kalinya bertemu beberapa dari mereka yang berhubungan dekat denganku. Malam yang begitu singkat, dan sore yang begitu indah. Sore yang hujan, malam yang sempat benderang, dan ditutup dengan gerimis malu-malu di akhir tahun.

Aku pernah menjadi bagian dari The Commoners, sebagai personil tidak tetap. Ya, kadang aku menyumbang lagu dan nada, lirik dan referensi lain untuk bahan inspirasi mereka. Tak jarang aku meminjamkan laptopku ke mereka waktu zaman susah — belum ada modal buat edit lagu dan video buat konten YouTube dan Spotify mereka. Beberapa kali juga aku sempat trial dan merekam Fey bernyanyi, kadang Gilbert, kadang mereka berduet dan aku memetik gitar di tangga — tempat terbaik di rumah kontrakan atau seringkali kami invasi untuk menjadi studio bermusik. Kadang menghajar beberapa tuts piano di kafe Marmara — satu-satunya tempat ngopi yang punya piano dan sering nganggur. Kami mencoba-coba beberapa lagu dengan tangga nada berbeda — sekalian menguji keahlian Fey dan Gilbert bersuara. Aku, Fey, dan Gilbert menjadi proyek sampingan dari Commoners yang hanya tampil di event besar — karena Samuel dan Emma orangnya suka sibuk sendiri dan tak terlalu dekat dengan kami. Kami bertiga sering nonton video-video cover di YouTube, menghabiskan berjam-jam di sepanjang tahun 2019 untuk mencari inspirasi. Rozzi Crane yang serba bisa pop-jazz, Norah Jones yang jazzy, live session di “stories.”, “Mahogany”, beberapa live sessions AOL oleh band lama, dan live acoustic sessions sekian banyak band dan musisi kami jajal. Ya memang cenderung ke Barat, tetapi kami tak melupakan kekaguman musik Indonesia. Bahkan kami sempat mencoba stalking band-band lokal kampus dengan musik keren tetapi tak sempat populer seperti Beach and Blue Sky, dan kami sangat respek dengan Soegi Bornean yang akhirnya populer pada 2019. Kadang-kadang, kalau kita udah terinspirasi oleh sebuah lagu, menemukan feel yang tepat, niat, sudah take and record kadang-kadang kita jiper sendiri dan menganggap “Wah kayanya ga pas. Ga pantes. Aduh ga sanggup.”. Tetapi itulah dinamika kami bertiga. Lucu, penyesalanku bermusik hanya satu. Tak sempat, tak berani menggaet Ella yang punya suara sehalus Raisa, tetapi malu-malu tampil dan berekspresi — hanya sebatas bersenandung di Instagram saja. Oh, kalau diingat itu agak menyakitkan. Bak kesempatan emas nan sia-sia. Mungkin kisah asmaraku juga tak terlalu tragis kalau sempat menjajal bermusik bersamanya. Atau mungkin proyek bertiga kami bisa sukses? Arsip-arsip nada gitar, nada piano, nada senandung dari suara kami yang semula bisa menjadi beberapa lagu, semuanya hanya tersimpan rapi di folder yang menjadi satu dengan folder Skripsiku di laptop. Yah, setidaknya kalau di situ tak menjadi berjamur, dikuasai oleh jaring laba-laba dan debu. Setidaknya sempat terpikir, setidaknya masa-masa itu terkenang. Setidaknya.

“Melamun saja dirimu. Apa? Pasti teringat zaman keemasan kita, ya? Walaupun tak populer dan tak begitu emas, setidaknya kita ini sempat ‘bling-bling’ berkilau hahaha…” Gilbert menyenggol bahuku.

“Oh ya, Rick. Ke mana laptop workstation-mu itu. Aku pikir keberuntungan kita semua ada padanya. Laptop gede ga berguna itu akhirnya berguna juga ya buat kita.”, Gilbert bercanda. Laptop itu memang sering kugunakan buat gaming tidak rutin — yang sebenarnya guna utamanya adalah editing dan rendering.

“Sudah kujual. Damn, sekarang kira-kira di mana ya dia…” aku teringat laptopku yang penuh kenangan perjuangan itu. Aku juga tak paham mengapa Fey bisa tiba-tiba menyinggung laptop itu. Seakan lamunanku sama dengannya.

“Hei, aku punya ide. Ruang akustik di dalem kan masih oke, dan alat-alatnya…”, muncul selintas ide dipikiranku dan Gilbert langsung memotong.

“Sudahlah, Ricky. Bermain musik lagi untuk saat-saat ini kurasa bukan ide yang bagus. Well, setidaknya untukku.”, Gilbert enggan.

Kita semua entah mengapa tersambung dalam saling diam. Mungkin mengisi amunisi pertanyaan, atau sungkan untuk bertanya apapun setelah Gilbert membuat sedikit energi negatif dari dalam dirinya memengaruhi kita. Aku terpikirkan kepada waktu-waktu sebelumnya, kenangan-kenangan menggelikan, aneh dan bodoh. Seperti memutar arsip video-video Instagram Story di kepalamu. Aku pun akhirnya tak mampu menahan geli akan pikiranku sendiri.

“Ada apa? Aneh ya.” Fey merespon tawa kecilku dengan datar.

“Lucu saja, seperti kita sudah tahu cara kerja dunia ini saja. Dulu dan sekarang. Ga tau aja, kalau dunia ini bekerja bukan hanya dengan kehendak Tuhan, tapi kehendak generasi sebelumnya, bukan?” aku mencoba untuk melempar narasi pikirku.

“Pfftt, ironi.” Gilbert menanggapi singkat. Fey mulai tertawa.

“Gini aja deh, Rick. Berhubung kita suasananya deep talk banget, coba kutanya. Bagaimana pertemuan dan perpisahan paling berkesan menurut versimu? Yang beneran kamu alami.” aku sontak menerima ‘tantangan’ itu dan mencoba menjawab perlahan sembari menghabiskan hisapan terakhir rokokku.

“Oke, Gilbert. Tapi izinkan aku paparkan dulu opiniku.” aku mematikan rokokku.

Shoot, Rick.” Gilbert mulai berseri, terlihat tertarik dengan topik yang dia lempar sendiri.

“Menurutku pertemuan dan perpisahan ga ada yang ideal. Kita ga berharap banyak tentang pertemuan. Ngalir aja sebagaimana mestinya. Tetapi kita selalu berharap pada perpisahan yang sempurna. Perfect goodbyes never happened to me.”

Go on, ky.” Fey memotong dengan nada tenang.

I mean, aku ga pernah kan berharap bertemu kalian. Jadi ngalir aja, sometimes kita ga tau bakal ketemu siapa dan seperti apa kalian waktu kita pertama bertemu. Dan untuk perpisahan, aku harap kita berpisah suatu saat dengan suasana yang berkesan. Bahkan, mungkin ini adalah terakhir kalinya kita bertemu. Entah besok ternyata Gilbert dipanggil personil band mana yang notice cover lagunya dia dan dia harus terbang ke Jakarta buat diajak collab bareng band itu. Mungkin Fey ada panggilan kerjaan ke mana, kita ga pernah tau.”

Fey dan Gilbert mengangguk pada tatapan kosong.

“Lihat saja diriku. Aku dulu berharap, suatu ketika bakal saying goodbye ke Ella, dengan setting tempat dan waktu di mana aku punya kesempatan buat terakhir kalinya nganter dia ke bandara cuma berdua, atau sama temen-temen lain. Dan kita berpelukan, atau bahkan gua bakal bilang sayang ke dia — yang gua pikir bakal ga fair bagi dia, tapi ternyata perpisahannya ga ada goodbye sama sekali. Bahkan ga di chat, gua yang say goodbye ke dia hati-hati di jalan dan dia bales chat seolah punya kesan banyak…”

“Dengan beberapa chat yang pake huruf seolah nadanya panjang — memberi kesan positif yang kesannya maksa banget, ga sih?” Gilbert memotong dan tertawa kecil.

“Bener banget, bert. Bener! Jadi ya, shit men kita ga tau besok kaya gimana. I think we’re not young anymore. Gua sampe mikirin kaya gitu.”

“Yah, sepertinya memang kita ga perlu berharap kepada perfect goodbye, toh juga kemungkinan ga akan pernah ada goodbye sama sekali.” aku sedikit memancing dan enggan menutup pembicaraan.”

“Beberapa dari kita, mungkin kita semua, pernah dan sedang merasa ditinggalkan. Ya itu normal aja menurutku.”

Dan kita semua hanyut kepada asap rokok masing-masing, setelah Gilbert juga enggan menutup topik ini.

“Daerah kampus ini sama aja menurutku. Hujannya, teriknya, sunyinya…”, Fey bicara pelan. Bagiku, ia sepertinya sedang menahan nadanya yang menuju terbata-bata.

Dan Gilbert menyambungnya, “Ya, tetapi keramaiannya. Keramaiannya berbeda.”

“Banyak warung kopi, burjo, kafe yang silih berganti. Tempat yang penuh memori dipaksakan menjadi memori-memori baru bagi orang lain. Betapa sayangnya mereka, orang-orang yang baru menetap di sini, mungkin ga pernah ngerasain memori seperti yang kita punya.” Aku ikut menambah.

“Eh iya, kalian inget ga sih warkop yang kecilll banget ga nyampe seukuran garasi di deket masjid kampus? Bangku cuma sepasang menyambung pedestrian dari ujung ke ujung?”, Fey mengenang.

“Ya, dan satu kursi yang dijadikan tempat perundungan tak langsung bagi yang datang sendirian. Dan menjadi tempat bulan-bulanan dalam pikiran, ketika ia meminta satu bangku dari barista untuk sang kekasih; kalaupun ia datang berdua.” Gilbert menyambung.

“Biasanya jadi pelarian terakhir kalo tempat-tempat kopi pada tutup. Dulu kan kafe ga serame sekarang. Lagian, dulu jauh lebih sepi daerah sini.”, aku ikut nimbrung, sambil meraih sebungkus rokok baru dari kantong dalam jaketku, membukanya dan menyalakannya. Aku tawarkan kepada Fey dan Gilbert, dan mereka mengambil satu-satu.

“Korek, cuk.”, Gilbert menodongku dengan telapak tangan kanannya menengadah.

Lately, kalian pada dengerin apa?” aku mencoba mencari topik. Mencari terus obrolan di tengah sepi, agar waktu bertiga ini, waktu tersisa ini tak sia-sia begitu saja.

Discover Weekly, macem-macem Ky. Kadang, di YouTube suka lewat lagu-lagu lama yang jarang orang dengerin.”, Fey menjawab dengan serius.

“Oke deh, dari tadi kalian pada mantik ngomongin musik. Sekarang giliranku deh…”, Gilbert paham maksudku. Sambil mengisap dengan tenang rokoknya, ia melanjutkan.

“TikTok menurutku agak sampah aja. Lagu-lagu lama yang bagiku klasik, underrated, bisa dinikmati, jadi overrated. Diputer berulang-ulang kali. Marvin Gaye, ada lagi banyak. Ya sih memang, musiknya jadi melambung lagi. Tapi sorry aja mungkin aku agak konservatif ya, tapi namanya juga gedeg aja. Bukannya aku seorang snob soal beginian, tapi ya gimana lagi…”

“Sepakat!” aku dan Fey tak sengaja menyela Gilbert yang belum usai kalimatnya.

“Kalau tak mau konservatif, bisa jadi lagu-lagu kita suntik ke TikTok. Terus… ehh.. ah sudahlah.”, Fey menahan ucapan itu dan menyimpannya dalam angan.

Kami sempat terhenti dalam sepi lagi, dan lagi.

“Kalau kalian inget, event terbesar kalian atau kita apa sih, dan kapan?” Fey bertanya.

“JazzFest, kalau kita. Aku mungkin The Nite Fest 2019, sempet tampil di expo KKN juga Agustus 2019. Tapi paling dapet feel-nya sih Decade’s End 2019 di Kafe-In, dua hari sebelum tahun baru. Waktu Sanctuaries ada di sana.” aku menjawab pertama.

“Gibs?” Fey memancing Gilbert.

“JazzFest, Fisiphoria 2018, itu jaman Maliq sama Rendy Pandugo. Terus, Galaxy Market. Steril juga pernah, bulan sebelum Fisiphoria. 2018 paling padet dan jaya-jayanya lah.”, Gilbert mengenang sambil sesekali menatap kosong bata parkiran dan menghitung dengan jarinya.

“Kau? Gimana Fey?”. Aku memantik Fey. Gilbert pun menajamkan pandangannya ke Fey.

“JazzFest sih. Aku ga pernah associate act, sama featuring seperti kalian. Jadi ya sepi-sepi aja. Selebihnya akustik iseng-iseng.” Fey menjawab dengan sedikit malu.

“Sekarang, pengalaman pertama banget kalian manggung gimana? Kapan dan gimana tuh kesannya?” aku bertanya.

“Bukannya kita udah pernah cerita ya waktu dulu?” Gilbert mengoreksi.

“Ya, nyoba nyari topik sih. Tapi aku masih inget. Gilbert, kamu dulu jadi drummer di SMA, karena drummer band temenmu cedera abis main futsal H-1 pensi di sekolah. Fey, kamu udah dari SMP waktu ada pensi. Sampai SMA kamu sempet minder nyanyi lagi dan akhirnya kesampaian jadi band opening waktu pensi kelas dua dan promnight. Kamu ga perlu minder, Fey. Kalau kamu minder, sesekali ingetlah jaman keemasan ‘18-’19 dulu. Stunning, ga pernah mengecewakan. Bahkan tiap minggu ada panggilan pun kamu ga pernah pecah suara dan ngecewain penonton. You literally, can sing, Fey.”

“Oke, oke, thanks Ky, thanks. Lagian aku minder cuma sama satu orang sih, Ky. Ya, ga Bert?” Fey tersenyum, dan sedikit cekikikan menatap Gilbert.

“Oh, Ella. Ella oh Ella. Aku jatuh cinta.” Gilbert tertawa dan tersedak asap rokoknya.

“Ya, ya, ya aku sudah mengira kau akan mengungkitnya.” aku tersipu malu.

“Cintaku hanya sebatas petikan Maliq dan Untitled-nya. Tak ada keberanian. Bahkan musik jazz lahir dari keberanian nan serampangan dengan chord-chord yang tak sama sekali konservatif.” Gilbert melanjutkan.

“Iya, Gibs, iya. Kau benar.”

“Oke, karena kalian mengungkit kisah asmaraku yang tragis dan romantis ini…”

“Pfftt…” Gilbert dan Fey meledek.

“…ceritakan padaku bagaimana kisah kalian. Biar adil.” aku melanjutkan di tengah mereka berdua yang cekikan.

“Fey… kau duluan.” Gilbert melempar pertanyaan nya.

“Aku, ya, begitu. Ga jelas. Aku yang begitu ekspresif dan bebas, independen. Rudy yang begitu akademis, dan anak organisasi banget nget kan ya. Jadi, ya, kami masih kontakan sih. Tapi terakhir ketemu kemarin lebaran dia ke Semarang. So, we’re still good friends.

“Seorang Gilbert, adalah pecinta dan bebas. Aku masih bermimpi suatu saat bertemu Rahmania Astrini. Mungkin jamming beberapa lagu.”

“Elah, kalian begini-begini ga jelas juga kisahnya.” aku meledek balik.

“Tapi setidaknya kita berani ngaku kalau sayang, iya ga sih Gibsss?” Fey menghajarku kembali dengan ledekannya.

Obrolan-obrolan panjang, berkesan dan mengenang bersama mereka berdua ini mungkin mulai meredup ketika Fey sudah mulai menguap. Aku mengintip arlojiku dan jarumnya pas di angka 12 lewat dikit. Jalanan yang sesekali memecah kebisingan dengan knalpot kendaraan dan friksi roda, sudah mulai jarang.

Thank you for tonight, guys. Ehm, seneng banget kita masih bisa nongkrong.” Gilbert tersenyum.

“Fiuh, memang sih kacau nih masa-masa quarter life crisis. Ya sudahlah, musik tetaplah musik. Tetaplah bermusik, seenggaknya kita ga tumpul.” Fey bicara dengan sedikit nada penyesalan.

“Oke, percuma kalau kita mengenang tanpa praktek. You, you, and I. Besok siang, at my place, two o’clock, kita ngulik file-file lama. Seenggaknya, se-enggak-nya, kita tergugah buat nyoba bikin satu lagu aja. Satu, dari recording-recording lama. For old time’s sake, guys. Ok?” aku dengan berani meminta mereka.

“Rick…” Gilbert memotong.

Man, ga ada namanya kutukan atau tahayul-tahayul lain yang kau percaya, Gibs. Sorry banget. Tapi, aku nyoba ajak kalian. Seenggaknya kita berani. Bukan cuma kau, Bert. Ini bukan soal aku juga yang pengen doang. Dulu musik udah kaya makanan, minuman, sehari-hari Bert. Inget ga, waktu kuliah hampir tiap hari kamu pasti bawa gitar dari kos, titipin ke Sekretariat Gedung D. Terus kita jamming tiap Kamis sore di kantin. Fey, kamu inget ga beberapa kali kalau liat kita ngumpul di kantin sama anak-anak musik, kamu pasti nanya acara musik terdekat apa, kapan dan siapa yang ngadain? Aku ga minta kita kaya dulu Gibs, Fey. Tapi seenggaknya ini jadi comeback. Lagian, Commoners dan project kita ga pernah secara resmi hiatus kan? Iya kan?” aku terbawa suasana.

Fey mengangguk. Gilbert menatap Fey sekali lagi, dan menatapku lebih tajam.

“Kalaupun ini bukan comeback, dan kalaupun ini bisa jadi yang terakhir, Ya udah gapapa. Seenggaknya, di masa pandemi yang kita ga pernah habiskan bersama ini, kita ada hal baru. Mungkin yang kita butuhkan cuma pengalaman menyedihkan kaya gini, yang bisa jadi musik yang utuh, yang selama ini kita ga kesampaian, kita ga bisa goal, dan yang terlupakan.” aku melanjutkan.

“Tapi ada satu syarat, Rick.” Gilbert menatapku sembari membuang puntung rokoknya yang dari tadi tak pernah habis.

“Kau harus telepon Ella, dan minta dia liat video kita. Aku mau, kamu minta Ella buat join project kali ini.” Gilbert menatapku serius, dengan nada yang serius pula. Dan tak lama ia memecah senyum.

Fey tertawa dan menutup seringainya.

“Sialan.” aku memecahkan senyumku yang kutahan di tengah keseriusan ini.

Gilbert menghampiriku dan memelukku yang duduk setengah berdiri. Fey menghampiri setelahnya dengan setengah berkaca-kaca.

“Enaknya, project ini kita namain apa?” Fey bertanya, suaranya sumbang dan terpendam sembari kita masih berpelukan bertiga.

“Untitled.” Gilbert menjawab.

“Bagus. Tapi, sambil dipikirlah nama yang agak keren gitu.” aku menjawab.

“Oke. Untitled. Akan ku telepon Ella sekarang.” Aku memberanikan diri, dan sedikit tidak masuk akal sudah selarut ini telepon.

“Duh, kira-kira diangkat ga ya?” aku sambil membuka ponselku, membuka kontak WhatsApp dan meneleponnya. Setelah nada sambung pertama berbunyi, aku langsung menyalakan mode loudspeaker.

Sambil berangkulan, Gilbert dan Fey ikut menatapi layar ponselku yang kutunjukkan ke tengah-tengah lingkaran.

Setelah nada sambung berakhir dengan tak terjawab, aku, Gilbert dan Fey menghela napas.

“Well, maybe not tonight.” aku berkata sambil mengantongi ponselku kembali dengan nada sedikit kecewa.

Kami masuk kembali ke ruangan. Menggigil karena AC indoor, aku meraih jaket yang kugantung. Tak lama mereka juga menghampiri, jaket yang mereka gantung bersamaan tempat dengan jaketku. Di depan pintu masuk, Gilbert mengunci pintu, Fey mengancing jaketnya setengah kedinginan ditiup angin malam. Aku mengantongi telapak tanganku ke dua kantong depan jaket. Tak lama, ada nada dering ponsel memecah kesunyian.

“Gibs telepon!” Fey bersahut.

“Hah? Kirain punyamu?” Gilbert bertanya balik kepada Fey.

Karena ponsel kita bertiga merek nya sama, maka nada deringnya pun sama. Produk Apel Amerika.

“Engga tuh.” Fey menjawab.

Gilbert yang masih memegang kunci menatapku dan mengerutkan dahi dan menyeringai, Fey tersenyum melihatku. Aku bergegas meraih ponselku.

“Waduh, Ella guys!”, aku berteriak tanpa sadar.

“Shhh cepet angkat!” Fey ceria.

Telepon kuangkat, dan ku nyalakan mode loudspeaker, dan kemudian ada suara indah memecah sepi dan menjawab penasaran kami bertiga.

“Halo, Ky?”

Untuk lagu lama, kawan lama, dan cinta lama.

Semarang, November 2021. Bulan rindu.

--

--

Rifqi Prasetio

Socio-Politics student. Philosophy, Art and History enthusiast. Half time Thinker, full time God's creature, and her all time admirer.