Cerita Sepele Makan di Pinggir Jalan

Agitasi Angkringan Pak Gik dalam Perspektifku

Rifqi Prasetio
4 min readFeb 14, 2022

Dalam satu dasawarsa hidup di Semarang, minimal anda mampir ke pinggir jalan yang ‘biasa saja’ itu kurang lebih lima kali setahun. Kalau dirimu orang kaya raya, seharusnya tetap saja setidaknya kau mampir ke sebuah tempat makan bernama Angkringan. Etimologinya sudah jelas, kamu nangkring aja di kursi yang pantas-tak pantas disebut kursi. Kadang-kadang lesehan, tetapi sejatinya angkringan adalah “fast food” yang sudah lama ditemukan.

Serawung dan serampangan orang berlari, memarkirkan kendaraan, pesan yang kadang tak bayar sesuai dengan jumlah makanan yang diambilnya. Seragam para pelanggan pun bermacam-macam. Tidak ada yang biasa. Dan setiap diriku ke Pak Gik, tidak ada yang tidak istimewa saatnya. Pasti pada saat yang tepat. Kalau tidak tepat aku tak akan merelakan ke sana, atau terpikir untuk ke sana.

Pertama kali ke Pak Gik aku sudah tidak ingat. Mungkin waktu SMA kelas 3, waktu-waktu luang sehabis ujian sekolah atau ujian nasional mungkin bersama teman-temanku. Aku juga tak begitu ingat, yang jelas aku cukup muda kala itu. Akhir kelas tiga adalah fase hidup di mana diriku mulai sering pergi-pergi malam.

Kesantunanku untuk mengingatnya, membuatku untuk segan sembarang berkata. Karena tempat sakral di pinggir jalan, dengan kegaduhan dan keriweuhan menenteng makanan dan minuman di sana adalah upacara adat. Sebelum duduk di trotoar nan suci penuh debu dan sedikit berminyak, tak lupa tumpahan minum pelanggan sebelumnya yang menempati di situ membuat lebih khidmat lagi ingatanku. Saran saya anda tak usah berpikir panjang es teh ini pakai es batu dari Unit Ice atau bukan. Yang jelas, selama makan di sini tidak membuat anda mulas!

Kebanyakan ingatanku di sana pasti langsung berkiblat kepada kawan seperjuangan GMNI FISIP dan sirkel Semarangan semester akhirku. Walaupun sama teman-teman BEM FISIP pernah, sirkel SMA juga. Setiap perkumpulan jelas membicarakan hal yang beragam dan berbeda. Kami berbicara banyak hal, dan kata-kata mengantre keluar begitu saja dari mulut, walaupun tak terpikir dan terbayangkan suasananya, sebelumnya. Remang-remang syahdu sekitaran pinggir sana membuatku lebih tak lupa lagi. Hari-hariku akan selalu kembali ke sana. Setiap momen nya seakan tak tergantikan. Tiap menyinggahi ke tempat itu pasti aku mengenang waktu singgah sebelumnya.

Kalau kamu adalah orang kota dan kaya yang suka jijikan dengan kali dan pinggiran jalan, tanpa mengurangi rasa hormat saya bisa bilang anda norak. Kawanku anak konglomerat, kawanku anak pejabat tuan besar, kawanku tuan tanah, suka ke sana. Ia menikmatinya, kekumuhan kali itu adalah tanda peradaban — yakni sampah nan bertumpuk rapi dengan air dan bau. Sebuah chemical romance daripada sebuah kehidupan sosial-politik. Termasuk berebut antrian dan tempat duduk, adalah ihwal sosial politik. Muda mudi yang terkadang brengsek seperti kita bisa menjadi taubat gara-gara makan di sini — karena bagiku saking reflektifnya memori-memori di sini. Penjualnya pun tanpa raut muka. Makan di sana serasa anda diberi kertas putih saja. Silakan menulis kisah sendiri, kalau kau mau. Silakan untuk menghakimi duluan tetapi sayang jika akhirnya seperti itu. Silakan ambil dan pesan minum sendiri, bersihkan setelahnya jikalau anda manusia sadar. Yang diwajibkan di sana hanya membawa uang, dan membawa hati. Tak ada live acoustic di sana, apalagi wireless fidelity. Selama ada waktu di Semarang, cobalah untuk singgah. Kau tak akan menyesal, dan kadang hari akan terlewat begitu saja tanpa dampak di ingatan. Anda yang menentukan. Jam sebelas sampai jam satu pagi adalah waktu-waktu utama layaknya sepertiga malam di sana. Jalanan yang tak bergitu ramai berlalu-lalang berisik dan berderik, antrian yang menambah romansa. Oh iya ini bukan angkringan seperti di Kota Pelajar ya. Konsep angkringan tidak punya silabus. Jangan berekspektasi pada contoh-contoh romantisme lain, buatlah romantisme sendiri di sini. Ingat, “serasa anda diberi kertas putih saja”. Berbahaya ketika kita mencoba menjamah rasa cinta, afeksi berlebih itu. Kau mencoba meraba-raba hati dan rasa, hasrat tersampaikan itu percuma kalau yang disampaikan tak merasa yang sama. Tempat itu tak berharap apa-apa untukmu, bahkan tak berharap kau kembali ke pada tempat itu. Yang pasti, ketika kau singgah, lupa, dan kembali lagi untuk mengenang dengan orang yang berbeda, ia tetap di sana berdiri tegak, lugas, apa adanya, dan menjadi dirinya sendiri. Ia tak berharap dari sebuah afirmasi seperti kita. Ia tegas dengan karakternya, walaupun pinggir jalan dan bau kali, tetap saja ia seperti itu adanya! Dan tetap banyak yang membutuhkan dia! Ia letaknya juga tak membuat dia suka pamer dengan afeksi, belaian wajah dan rambut, tidak! Ia abadi dan tak mungkin reinkarnasi — karena ia selalu ada di sana.

Kepergian Pak Gik tidak lantas membuat Angkringan itu hilang makna dan bubar massa. Ia tetap di sana menghantui malammu dalam pikiran.

Pak Gik enak iki ketoke…

Yoh Pak Gik!

Pak Gik wae lah, lhesss…!

Kalau belum ke Pak Gik kamu belum ke Semarang. Ya, mungkin bisa dibilang begitu. Tapi namanya juga selera, jadi kalau anda tersinggung kata-kata di atas berarti anda norak. Norak itu pilihan, begitu pula dengan tersinggung hahaha.

Selamat makan, semoga selalu kita berakal sehat. Merdeka!

In Memoriam, Pak Gik

--

--

Rifqi Prasetio

Socio-Politics student. Philosophy, Art and History enthusiast. Half time Thinker, full time God's creature, and her all time admirer.