Epilog

Sebuah Testimonial — Hampir Genap Tujuh Tahun Menjadi Manusia Akademia

Rifqi Prasetio
10 min readMay 25, 2023

Pembuka

Tulisan ini kusimpan di draf, setelah enam bulan mendekam bersama empat puluh enam tulisan tak bertema lain, di antaranya paling tua dari tahun 2018. Saat-saat seringku menulis. Tulisan pertama di bawah mungkin agak gak nyambung sama di bawahnya lagi. Ketimbang terpendam di draf, bolehlah kusertakan buat meracau sedikit. Payahnya, tahun lalu aku hanya menulis dua kali di tahun lalu, 2022. Satu di pertengahan bulan Januari, dan satu di pertengahan bulan Februari.

Mengalami kehidupan repetitif menjadi sebuah jebakan rutin. Hujan dan tulisan adalah sahabat kopi.

Sepertinya belum lama aku mengingat, hari-hari ke belakang, belum sampai setahun yang lalu berefleksi apa yang sudah terjadi di 2021 dan akan terjadi di 2022. Semua tidak seperti apa yang kurencanakan, dan hal itulah yang membuat kehidupanku semakin menyala.

No regrets.

Semua bisa berkuliah, tetapi semua tak bisa menghayati kehidupan akademia. Akademia, yang semakin kemari semakin rapuh, tak lagi utuh dalam pencarian jiwa. Sekarang kota-kota termasuk sudut-sudutnya bukan lagi perantauan, tapi sebuah ‘skisma’ besar antara pop-kultura dan akademia. Semula dari hobi dan profesi, sekarang menjadi gerakan-gerakan alternatif yang tak sadarkan diri. Pencarian jati diri yang amat membengkak, sehingga universitas tidak lagi menyatukan diversitas. Tetapi menjadi taman kanak-kanak akil balig. Skisma besar yang semula dari organisatoris versus akademis, sekarang dua ruang itu pun kosong — satu kosong di ruang-ruang geraknya, satunya kosong di rasa dan pikirannya. The Great Humerocracy melanda student government. Humere dan kratos, kau bisa menerjemahkannya dengan “kekuasaan yang sangat cair”- saking cairnya tak dapat diprediksi, ditentukan, bahkan didefinisikan. Atau kau boleh mengartikannya “kekuasaan yang penuh dengan kejenakaan”. Ini semua bukan karena kekosongan kekuasaan, tetapi kegagalan mengisi kekosongan akal dan hati — menyebabkan kekosongan kekuasaan itu sendiri. Humor atau massa cair sebagai pengendali utama hidup, penghindaran daripada fakta, dan karena begitu seringnya humor hadir, maka hidup manusia senantiasa kelucuan dengan harapan semua akan mati dalam keadaan tertawa. Sebuah gestur defensif paling payah dalam peradaban manusia adalah humor. Kegagalan pewarisan, atau penyalahgunaan pewarisan?

Salah satu cara untuk membatalkan keangkuhan akademia, adalah menggemakan refleksi dan menggiring mereka kembali ke ruang-ruang akademik itu sendiri — agar mereka belajar kembali berpikir dan berasa, sebelum berkata dan bertindak.

Kesehatan jiwa pun menjadi kendala komprehensif kehidupan akademia, intrinsik maupun ekstrinsik. Kegagalan pemaknaan jiwa itu sendiri jadi alasan medis dan nonmedis. Sayangnya, alasan nonmedis menutup kelambu fakta bahwa beberapa subjek dari kesehatan jiwa yang memerlukan pertolongan sudah terdeklarasikan dalam lembaran riwayat medis. Bualan-bualan reaksioner yang sudah kadung menyedihkan kita, memantik bahwa fakta harus keluar lebih dari kata-kata yang mengucapnya. Kesehatan jiwa dan raga tergantung sekali dengan rutinitas hidup — kadang kita sendiri yang terlalu banyak memikirkan, merasakan, dan melakukan hal-hal yang tak dibutuhkan dan diperlukan. Apalagi, kita masih bingung melinglung dengan arti kebutuhan dan arti keinginan.

Demikian meracaunya. Saatnya nulis beneran.

Pengamatan, Pemikiran dan Kritik Sekarang

Ego dan Asmara

Jikalau ingin sukses di akademia, salah satu pesanku di tahun-tahun terakhir adalah belajar bertemu ego sendiri — bahkan sering meladeninya. Aku kenal banyak orang dari tahun-tahun puncak 2017–2019, orang-orang sudah belajar berani memerangi ego, kemudian menghadapi ego, dan berteman baik dengan ego.

Para venture-careerist yang punya visi, misi dan ambisi yang luar biasa serta berteladan, memerangi ego nya dengan sengit sekaligus meladeninya. Khususnya di bidang asmara. Tiada yang dicinta, membuat seorang persona menjadi bahaya. “Ia cerdik, ia pintar, ia teladan di antara temannya, tetapi kok masih sendiri saja ya?” dan ada pula yang mencoba berkompromi meladeni ego orang lain dengan ego nya — meniti asmara perlahan. Kadang ditemui pasangan asmara yang tidak perlu diteladani — datang rapat terlambat tetapi bebarengan, dan lain-lain. Siapa di antara kedua individu dengan keadaan asmara ini yang paling egois? Tidak keduanya. Dua-duanya sama-sama kepayahan mencari lebensraum-nya.

Di semester lanjut, berubah circle pertemanan adalah kewajaran. Ada yang bertahan dengan lingkaran pertemanannya, ada yang seharusnya bisa bertahan, ada yang justru bertemu dengan teman-teman yang tidak seharusnya. Toh, semua keadaan yang akan kau lalui di semester lanjut adalah semua sudah tentang dirimu dan keluargamu, dan tahniah pula kalau sudah ada kekasih! Karena bagiku mereka sudah mampu beternak ide, sebelum beternak ekonomi dan anak. Mereka sudah mampu melunasi social capital-nya yang dipelajari di kampus (Iya, kalau belajar.). Punya pasangan memang membuat kita berpotensi untuk melihat seisi dunia hanya dua hal saja, itu pun kalau masih kepikiran Tuhan. Kerumitan kekanak-kanakan akan muncul ketika tujuan kita masih belum pakem pada visi ke depan, yakni perhatian. Ini akan membentuk pribadi anti-kritik, karena si laki-laki sudah memantik karakter internal sebagai Bapak sebelum waktunya, dan si perempuan sebagai Ibu sebelum waktunya. Kita tertawa kepada kabar perceraian Deddy Mahendra Desta, karena dikisahkan bahwa sebabnya adalah “sudah tidak ada visi lagi”. Tanpa sadar, kita menertawakan diri sendiri. Di samping ketenaran, visi menjadi penting. Karena aku melihat dahulu kala banyak pemimpin di sekitar kita punya visi, misi, dan ambisi yang sangat teladan dan patut diteladani, tetapi mereka hanya mampu untuk mewariskan ambisi mentahnya saja ke adik-adiknya.

Asmara menjadi penentu sifat dan perilaku kelompok, kita pasti punya pengamatan sendiri apakah asmarandhana kehidupan muda-mudi ini, ada yang menjadi persekutuan najis, persekongkolan lucah, pertemuan hangat nan sunyi tanpa gembar-gembor, dan akhirnya yakni persatuan umat dan keluarga yang disaksikan Tuhan. Sebagai orang ketiga serba tahu, belum yakin hal ini jadi kontradiksi. Karena bukan dalam rangka menghakimi, tetapi perlu didalami untuk referensiku ke depan. Aku tak peduli apakah laki dan perempuan, salah satu njomplang secara background. Aku juga tidak pernah mengurusi hubungan asmara sahabat-sahabatku, kecuali mereka yang menaruh argumen untuk bercerita di meja. Kisah asmara yang warna-warni aku amati dari tahun ke tahun menjadi sebuah referensi yang istimewa bagi penulis gadungan sepertiku — dari yang paling klise dan sangat predictable, sampai cerita cinta sehayat semaut. Lagipula, aku sering merasa, kalau sudah punya pasangan, apakah musik, film, dan buku masih menjadi hal yang romantis atau tidak. Apa arti lagu-lagu mellow dan berapi-api kalau tidak berasmara?

Kembali ke persoalan ego, kalau siap menjadi egois sejati, maka ada konsekuensi yang harus dijalani — yakni berani berdikari, berdiri di kaki sendiri. Terbiasa dengan memikiran semua jalan hidup sendiri, berfondasi, sebagai mengeluhkan dan mencari solusi ke individu lain. Ada prinsip-prinsip maskulinitas di sini, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kalau hanya mengganggu, membatasi, bahkan menghasut orang untuk bersifat egois dengan arti sependek tidak memedulikan orang lain karena tidak penting bagimu, maka kamu bukan egois. Kamu manipulatif dan menjijikkan. Egois di sini adalah memandang ke depan tanpa mudah terganggu bertolah-toleh ketika jalan — karena sudah mengalami fase hidup nan penuh altruisme. Seperti kata salah satu seorang kawan, terkadang altruisme itu hanya sebatas memenuhi ego nya untuk membantu, sehingga kita merasa besar dan berjasa. Semua di dunia ini bukan tentangmu. Pikirkan dirimu agar kau tak lupa kau hampir seperempat abad! Di mana orang lain sudah sulit untuk ditemui dan bertukar ide-ide baru, dan terjebak kepada romansa romantika tematik nan repetitif. Romantika sehat ketika bertahap dan sesuai porsi, bukan untuk dilakukan setiap hari bahkan setiap minggu.

Validasi dan Selebrasi, Ruang dan Waktu — Kamus Kehidupan Kekancan dan Ke-Kencan

Masa-masa terbaik belum terjadi dan pasti akan terjadi. Dan masa-masa terburuk di antaranya sudah terlewati, terkadang tanpa disadari.

Aku menemukan kata-kata di atas sewaktu mengendarai motor yang biasa kubawa naik-turun Tembalang (hampir) setiap hari.

Soal validasi, generasi mana pun dan kapanpun kau dilahirkan, adalah sebuah pendahuluan yang vulgar atas kisah-kisahmu. Kau ingin diakui sebagai pemimpin yang baik. Kelompok yang kau pimpin normalnya akan menyatakan nilai final dalam setahun — bahwa kau pemimpin yang baik atau buruk. Pemimpin tidak akan mendeklarasikan bahwa ia adalah pemimpin yang baik di hari pertama, pekan pertama dia bekerja. Biarkanlah kisah itu dialami dan dijalani semasa kau memimpin kelompokmu. Maka, nilai itu akan jadi investasi di depan. Nilai itu akan mengisahkan sendiri, seringkali jadi saksi bisu — bahwa dahulu kala tahun sekian, ada seorang pemimpin kelompok yang baik, seperti ini dan seperti itu, alkisah ia melakukan ini dan itu. Perhatian akan datang ketika kau memerhatikan, menyerap, berpikir tentang hal-hal terkecil sekalipun atas yang kau lakukan dan yang harus dilakukan.

Soal masa, seringkali kita tidak menyadari bahwa masa-masa sekarang ini, di detik ini, adalah sebenar-benarnya masa terbaik dan terindah. Kalau tidak penuh kisah, ya penuh hikmah bagi kita yang menyerap, merasakan dan memikirkan. Sensitivitas kita terhadap dimensi dan waktu sangat kurang ketika kita sibuk, selalu bergerak tanpa berkontemplasi, evaluasi dan refleksi. Semisal, di masa-masa aku berorganisasi, sangat padat dan penuh kegiatan sampai sering lupa bahwa aku sebetulnya butuh ruang untuk menjalani kehidupan pribadi dan kebanyakan kehidupan pribadiku kuselingi di ruang-ruang nonpribadi atau bisa dibilang ruang publik. Contoh kecil yang sederhana, aku pernah menjalani hidup berorganisasi sampai lebih sering mandi di kontrakan teman, kos teman, bahkan beberapa kali di kampus daripada rumah sendiri. Ketika itu aku berpikir memang sudah kewajibanku bahwa menjadi organisatoris kampus harus mementingkan kampus dan khalayak. Mungkin beberapa orang yang akan kukisahkan apalagi generasi kini menganggap itu berlebihan. Tetapi, banyak teman-temanku yang lebih ‘parah’. Dengan keadaanku saat itu, tetap ada saatnya jenuh dan keluh kesah datang. Tetapi aku menikmatinya, karena di tahun dua ribu belasan itu, privilise sudah banyak ketimbang di tahun dua ribuan awal, yang dialami para senior. Anehnya, aku merindukan masa-masa itu. Aku tak sadar di masa-masa itu jadi masa-masa terbaik, sampai masa-masa itu berlalu tiga sampai lima tahun yang lampau.

Dan apa yang terjadi di akhir setiap tahap tahun-tahun terbaik itu? Tiada perpisahan yang mengesankan. Hanya mengharukan dan kadang berlalu, berakhir begitu saja. Akhir yang tak terlalu manis bukan berarti awal dan pertengahan masa berproses itu buruk. Kita saja yang sering salah paham, jika sebuah akhir harus warna-warni dan penuh selebrasi. Selebrasi kadang membatalkan esensi dan hikmah murni dari proses, maka dari itu, janganlah berlebihan. Perpisahan hangat sejatinya bagiku adalah perpisahan yang mesra. Dan masa-masa yang begitu saja berlalu dan berakhir, itu bukan perpisahan pahit. Namun, masa yang masih terjadi dan tidak kita sadari dalam alam sadar. Ibarat kisah cinta yang tak jelas dan tak ditutup dengan akad maupun kata pisah, kisah itu masih berlanjut. Teman yang pergi begitu saja tanpa sampai jumpa, mereka masih hidup dalam diri, pikir dan hati kita. Maka, jemputlah mereka dengan tanya basa-basi apa kabar! Walaupun aku sadar, tak semua teman begitu. Tetapi, aku masih menganggap mereka menyebut nama kita, karena kita tak sesungguhnya berpisah. Mereka masih bisa ditemui walau sulit, dan mereka masih bisa menggali pikir bersama kita walau sukar.

Di balik kejayaan dan keterpurukan ada hikmah. Kita memang rajin berpikir ‘seandainya’, ‘coba kalau’, ‘ah tau gitu…’ , namun banyak kisah yang kualami penuh dengan blessing in disguise. Tuhan memang punya cara dan jalan terbaik, karena kisah manis yang diharapkan manusia jika langsung terjadi, apakah manusia bisa merasakan itu cukup manis tanpa merasakan pahit di lidahnya terlebih dahulu? Tidak semua individu bisa atau mau mendengar kisah, apalagi berpikir dan membaca penuh dengan kesadaran di atas dunia nan fana penuh dengan hiruk-pikuk kultura ini.

Selebrasi, hmm, aku tidak terbiasa dengan segala akhir tahap sekecil apapun di selebrasikan. Keluargaku punya cara sendiri untuk selebrasi, dengan makan bersama dan arang memberi hadiah langsung. Kecil namun hangat. Jadi, kalau aku diselebrasikan dengan heboh dan manis, aku bisa saja menangis di tempat, haha. Terlalu masif dan sering selebrasi membahayakan bagi perasaan, karena ketika sudah terbiasa dan sebuah akhir datang, tidak diselebrasikan seakan menjadi sebuah kegagalan dan tidak segera jalan dan berlari mengejar ketertinggalan ke tahap hidup berikutnya. Ketika sudah bergantung kepada selebrasi, maka sulit menjalani hidup di masa yang sulit. Dan lama kelamaan, menyebabkan selebrasi hangat dan kecil menjadi tidak berarti bagi kita. Kita harus belajar tetap mengadakan selebrasi sendiri, dengan diri sendiri. Kau tahu apa yang kulakukan selepas LPJ Akhir Tahun Internal sewaktu di BEM? Bukan makan bersama, tetapi menikmati kopi hitam tanpa gula dan sepiring pie ayam yang nikmat-nikmat pedas merica di sebuah kafe sendirian. Self-reward yang khidmat harus kita pelajari dan biasakan, kadang itu yang paling penting dari selebrasi besar penuh balon dan perseteruan bertabrakannya gelas untuk bersulang.

Lewat selebrasi, aku bisa belajar dari tabir yang tertutup atau yang ditutupi, tanpa menghakimi, apakah yang diselebrasikan dan orang yang diberi selamat itu layak atau tidak untuk diberi kemeriahan. Aku tidak datang ke beberapa selebrasi dan reuni karena alasan tersendiri. Aku takut kehadiranku tidak membawa manfaat bagi orang lain atau diriku sendiri. Selebrasi itu baik, tetapi jika terlarut kita akan hadir dalam kelenaan hidup. Aku kadang menyusul ke selebrasi dan reuni yang lebih kecil atau lebih khidmat jika selebrasi itu masih berlangsung di hari atau pekan yang sama. Agar aku bisa mendoakan dan bersulang bersama orang yang berkepentingan diselebrasikan secara lebih mesra, dengan itu, selebrasi akan lebih berarti bagi orang tersebut.

To health, youth and uncertainty.

Kalimat di atas sering menjadi teman bersulang bersama teman-teman. Aku, atau kami, selayaknya bersulang untuk kesehatan, untuk masa yang selalu seakan kita masih muda — selalu merasa lapar, bodoh, dan menghadapinya dengan energik. Selalu siap dengan apa yang datang dan siapa yang menghampiri.

Soal selebrasi, aku kadang berpikir mungkin di suatu saat aku akan diselebrasikan semeriah mungkin. Entah karena sebab apa aku layak, tetapi aku membiarkan orang lain dan sekitarku yang menjadi penentunya. Sementara itu, aku tetap menjalani hidup sekarang, dan selalu siap menghadapi apa yang ada di depan.

Que sera, sera.

Apa yang sudah berlalu, apa yang saat ini ada, semua terjadi karena adanya ruang dan waktu. Salah perhitungan sedikit dan melupakan satu variabel — yakni pandemi, dikalikan dengan variabel eksternal non-disruptif alias tak bisa diganggu dan dikendalikan, menyebabkan masa kuliahku enam setengah tahun. Aku bisa melihat lewat perspektif awam atau perspektif terlalu awam, kalau di empat tahun lulus dan tiga tahun sisanya untuk meniti karir, maka seakan-akan masa mudaku mengeropos begitu saja dan penuh waktu yang sia-sia. Waktu sia-sia terbuang? Mungkin terjadi kalau aku tidak sambi-menyambi berpikir, mengkalkulasikan ulang, dan tidak semuanya dapat terlihat di pusat-pusat ‘kebenaran’ di masa pasca-kebenaran seperti instagram dan twitter. Aku cukup bersyukur dicukupkan seperti ini. Bahkan sekarang aku ditahap tidak menyesali tiga tahun yang mungkin orang anggap ‘eman-eman’. Aku yakin kehadiranku di sini jikalau tidak/belum membawa manfaat, aku pastikan aku tidak membawa kerugian bagi siapapun. Pertengahan Maret 2023, akhirnya tanda tangan dosen itu menggores lembar cover skripsiku. Sekarang saatnya menghitung-hitung untuk masa depan, dan aku masih optimistis menyambut seperempat abad hidupku. Biarkan ketidakpastian menjadi sedikit pasti di tanganku. Kalau tak ada ketidakpastian, apa arti hidup nan misteri Illahi ini? Aku cukup mengunggulkan kemampuan lapangku untuk menerima keadaan dan tetap luas berpikir, tetap terbuka untuk bercakap-cakap. Aku tidak mengasihani diriku, karena aku tidaklah dalam atau mentas dari masa terpuruk, melainkan masa renggang yang sedikit berlebihan. Rentan akan zona nyaman, kritik seorang seniorku. Memang benar adanya. Di enam setengah tahun berproses, setelah ini usai, kesempatan mengejar ketertinggalan bagaikan memanahuntuk melepas anak panah agar melesat kencang, harus dengan menarik busur yang kuat, stabil, dan fokus dalam bidikannya. Angin dan medan pertempurannya, biarkan Tuhan membawanya. Ini juga berkat ayah ibuku, yang tak pernah kehilangan rasa percaya. Yang membuatku tertegun bukanlah tanya dari mereka, tetapi seorang ayah yang sampai berucap menawarkan jika tak bisa selesai di tempat ini, coba saja daftar di tempat lain, yang tiga tahun selesai saja. Aku ingin jadi seorang ayah seperti Ayahku kelak.

Untuk pembaca, demikian alkisah. Untuk kawan yang membaca, terima kasih sudah menemani proses nan kian panjang!

Sampai jumpa di meja reuni dan selebrasi yang lebih layak daripada semua ini, dengan isi dompet terpenuhi!

Semarang, Akhir Musim Tak Tentu di Bulan Mei, Tahun 2023.

--

--

Rifqi Prasetio

Socio-Politics student. Philosophy, Art and History enthusiast. Half time Thinker, full time God's creature, and her all time admirer.