Sonnet Februari

Terinspirasi oleh Helen Hunt Jackson (A Calendar of Sonnets: February)

Rifqi Prasetio
1 min readFeb 29, 2024

Masih terlentang, di atas kapuk yang melintang sampai sudut ruang, di luar kemudian air mencari inang pada genangan yang nian.

Dingin tak begitu, panas tak menentu.

Tak kecuali gigilnya kabut menyerang malam, menyisakan embun untuk pagi.
Tiada pertanda bersemi, simpan saja dulu rasa. Bak dedaunan ditumpuk saling bertimpuk jadilah pupuk, atau berakhir jadi perapian buat asap sore yang ganggu hela nafas.

Ini nyata ada dalam kasak-kusuk masa kini, tak menjadi kisi-kisi bagi orang dahulu.

Lupakan kabisat. Toh jua hari pun tiap-tiapnya tak begitu niat, mengaku kuat bersilat namun menyerah pada palsunya kiat, akhirnya menyembah jalan singkat.

Mimpi dan tabiat akhirnya dipaksa sujud pengakuan: kita manusia pasti angkuh kalau sudah hadir hasil wujud. Masih sibuk cari alasan dan sebut-menyebut, niscaya terbata saat bersiasat dalam menerka belahan sirat atau surat.

Biarlah biar angin mencari kabar supaya siar. Sekali-kali kembali pada apa yang dipijak. Lagi-lagi tak perlu merasa diinjak, sama-sama dari tanah. Sudah-sudah di antara kami tiada paling bijak. Hidup tak perlu sedu paksa diri dan sedih bila tak tenar, lebih-lebih syukur sambil merintih tapi merintis jejak.

Moga-moga dapat sebar itu sadar dan sabar.

Semarang, 29 Februari

MMXXIV

--

--

Rifqi Prasetio

Socio-Politics student. Philosophy, Art and History enthusiast. Half time Thinker, full time God's creature, and her all time admirer.