Titip Salam

Rifqi Prasetio
2 min readJul 15, 2021

“Jika suara tak kembali nyaring dan jejak tak lagi tampak, maka Kota Hujan dan seterusnya waktu adalah jawabnya.”

Kalimat itu menepak pikiranku begitu saja. Tak mampu lagi berterus terang hanya dalam lamunan. Demikianlah yang keluar sunyi dari bisikanku. Pertemuan di masa kecil, cuek dunia di masa remaja, dan pertemuan dengan simpanan kabar tak sempat dewasa ini.

Dalam hikayat di Nusantara ini, ketegangan famili terasa wajar. Salah satu faktornya aku sebut sebagai “azas perbandingan” yang dikemukakan dalam forum silaturahmi: Si anak keluarga A dengan si anak keluarga B. Si Pekerja dan Si Pengangguran, Si Lajang dan Si Kawin. Di sudut Kota Hujan, bagi sebuah keluarga kecil, azas perbandingan itu menjadi ke-egaliter-an. Antitesis kontemporer yang sangat berarti bagiku. Kisah ini, berawal dari Dramaga – terkenang sampai Cimanggu.

Halo, Zar. Awal masa remaja kita, dulu terselamatkan oleh Bubur Ayam Cikini yang membuatku kenyang satu hari, Pameran Buku Bekas di Istora dan aromanya khas bercampur kertas usang dan keringat para pendatang, Kebun Raya Bogor dan bunga itu berseri-seri bak rupamu, Museum Satria Mandala — yang aku tahu kau tak begitu paham alat-alat tempur bekas, dan pertandingan bulu tangkis di jalan depan rumahmu yang begitu… murni dan sederhana. Tanpa pikiran dunia dan seisinya, hanya rasa senang mendapat teman baru.

Apa kabarmu? Terakhir kita saling bertatap seri sewaktu tahun 2015, di ulang tahunku ke-17, di resto kecil Ibumu — sahabat sehidup semati Ibuku. Seyogyanya kita adalah teman sedari kecil namun seperti pertama kali bertemu dengan kecanggungan.

Sayang sekali, kita belum sempat bertatap muka lagi, sudah lima tahun lebih sejak itu. Dan sudah 13 tahun setelah Bubur Cikini dan seisinya itu, Zar.
Kemarin aku ke rumah, ke Cimanggu, tetapi kau tak di sana. Aku sudah titip pesan ke Ayahmu. Yang menjabat tanganku begitu erat, dan memelukku hangat seperti sahabat sendiri — seperti ayahku memeluk ayahmu pula. Semoga dirimu dan keluarga sehat, ya. Aku tahu kita tak jauh berbeda, sebagaimana ayahmu bercerita tentang dirimu, seperti apa dirimu yang layaknya sudah banyak berubah sejak kita remaja.

Ibumu juga cerita, akhirnya beliau menemukan resep rahasia Siomay Bang Heri yang setiap hari kita cegat dia di depan rumahmu itu. Seminggu numpang di rumahmu itu rasanya cepat sekali. Sayang, rumah itu sudah tiada.

Aku sudah lupa betul kapan kita saling bicara, seperti apa dan topik apa. Haha, sudah pasti yang dulu itu bukan perkara hidup. Tapi, mungkin saja, kita akan menghabiskan bergelas-gelas kopi kalau bersedia. Tinggal ruang dan waktu saja, yang harus disedia, kalaupun tersedia di masa-masa sulit seperti ini. Aku yakin kita akan berbagi begitu banyak cerita dan cita-cita.

Semangat skripsian untuk kita! Semoga kita tak canggung ketika bertemu.

Dan terima kasih, Sirup Marjan Ibumu masih sama segarnya, dan klepon nya juga seperti 13 tahun lalu. Tiada yang berubah, kecuali waktu, dan kita.

Selamat ulang tahun. Dan sampai bertemu!

Titip Salam buat Zari,

rp.

--

--

Rifqi Prasetio

Socio-Politics student. Philosophy, Art and History enthusiast. Half time Thinker, full time God's creature, and her all time admirer.